Esai Sastra
adalah karangan prosa yang mengupas secara sepintas namun akurat,
padat, dan berisi mengenai masalah kesusastraan, seni, dan budaya dari sudut
pandang penulisnya secara subjektif.
Contoh esai sastra yang akan saya jadikan
referensi adalah esai yang dimuat di Harian Umum, Pikiran Rakyat, Minggu 17
Oktober 2010, dengan Judul Kemat Jaran Guyang ditulis
oleh Supali Kasim. Wakil Ketua Lembaga Bahasa dan Sastra Cirebon.
Dalam
esai tersebut beliau mengatakan bahwa nyaris
tidak ada sastra cirebon ditemukan dalam bentuk penerbitan media
massa maupun buku. Kalau pun ada, hanya dalam satu kolom kecil di suatu koran
yang dimuat terbatas dan dicetak sederhana. Karya sastra cirebon ibaratnya
hanya ditulis dan didokumentasikan di rumah penulisnya, tanpa mengetahui
bagaimana harus diterbitkan.
Karya
sastra yang dilahirkan pengarang sulit untuk dipublikasikan di media massa.
Penerbit pun terbentur dengan kecilnya pangsa pasar. Hal ini berbeda
dengan karya sastra sunda dan karya sastra jawa yang banyak dibahas
dimana-mana, bahkan banyak media massa yang berbahasa tersebut, seperti Mangle,
Galura, Sipatahuan, Kujang Giwangkara.
Dukungan
secara akademis pun cukup signifikan. Beberapa perguruan tinggi pun membuka
jurusan Bahasa dan Sastra Sunda yakni Unpad dan UPI, sementara
jurusan Bahasa dan Sastra Jawa antara lain di UGM, UNY, dan UNS. Namun siapa
yang peduli pada perkembangan sastra cirebon, yang jelas berbeda dengan sastra
sunda maupun jawa, ujarnya di dalam esainya.
Menyikapi
kalimat yang sedikit sinis terhadap sastra sunda dan sastra jawa, hal ini
berarti Supali ingin sedikit menggelitik pemerintah agar sedikit peduli terhadap sastra
cirebon yang terpinggirkan. Mungkin lama-lama sastra cirebon
akan punah dan hilang ditelan zaman dan bangsa Indonesia akan kehilangan sebuah budaya.
Supali
memberikan sebuah analogi yang tepat dalam sebuah Drama Tarling Abdul Ajib
khas Cirebon yang berjudul Nasib Baridin, yang cintanya
ditolak mentah-mentah oleh gadis pujaannya karena kemiskinan. Padahal sebagai
pribadi, Baridin tergolong orang yang ulet dan tulus cintanya. Diam-diam, gadis
yang ditaksirnya, Suratminah seperti memberikan harapan. Sampai-sampai ajian
Kemat Jaran Guyang pun dilakukan untuk menaklukan gadis itu.
Lalu,
Supali memberikan gambaran wilayah Cirebon dan perkembangansastra dan
budayanya yang kembang-kempis dalam esai.
Nah,
dalam esai sastra, kita sebagai penulis boleh berpendapat sesubjektif
mungkin asal disertai data dan fakta yang masuk akal sehingga pembaca
merasa yakin dengan apa yang kita ungkapkan.
Dalam
sebuah esai pun kita boleh memberikan solusi terbaik mengenai masalah yang
dibahas, sehingga esai tidak hanya berupa kritik atau keluhan saja tentang
fenomena yang terjadi dalam lingkungan sosialbudaya masyarakat.